Hukum asal dari segala sesuatu adalah suci selama tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya.
Berikut adalah beberapa benda najis beserta perbedaan pendapat Ulama’ tentang kenajisannya:
- Bangkai hewan darat yang memiliki darah mengalir.
Jumhurul Ulama’ mengatakan najis berdasarkan dalil:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِه [الأنعام : ١٤٥]
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am : 145)
- Anjing
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ. (رواه البخاري)
Rasulullah SAW bersabda: “Bila seekor anjing minum dari wadah milik salah satu diantara kalian, maka buanglah lalu cucilah sebanyak 7 kali.”
قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُوْلاَهُنَّ بِالتُّرَابِ. (رواه مسلم).
Rasulullah SAW bersabda: ”Sucinya bejana diantara kalian apabila dijilati anjing adalah mencuci sebanyak 7 kali, yang petama dengan debu.”
Berdasarkan kedua hadits di atas, Ulama’ berbeda-beda pendapat mengenai hukum kenajisan anjing sebagaimana berikut:
- Syafi’i dan sebagian Hambali :
Najis badan dan air liurnya.
- Maliki :
Suci badan dan air liurnya.
Karena tidak ada nash yang secara tekstual menyebutkan bahwa anjing najis. Adapun perintah mencuci wadah bekas minum anjing sebanyak 7 kali adalah bentuk ibadah ta’abbudiyah (semata-mata beribadah untuk mematuhi perintah Allah saja).
- Hanafi dan sebagian Hambali :
Suci badannya dan najis air liurnya.
Adapun teks hadits hanya menunjukkan kenajisan air liurnya saja, tidak menunjukkn kenajisan badannya.
- Babi
- Jumhurul Ulama’ berpendapat bahwa babi najis berdasarkan dalil:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِه [الأنعام : ١٤٥]
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am : 145).
- Maliki berpendapat bahwa babi suci.
لقاعدة: أن كل حيٍّ وما رشح منه طاهر.
Berdasarkan kaidah: Sesungguhnya semua binatang yang masih hidup dan peranakannya suci.
Adapun dalam Surat Al-Maidah ayat 145 merupakan dalil atas keharaman memakan daging babi, bukan berarti badannya najis.
- Peranakan anjing & babi atau persilangannya dengan binatang lain.
Perincian hukumnya sama dengan anjing & babi dalam keterangan sebelumnya.
- Darah
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِه [الأنعام : ١٤٥]
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor — atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am : 145).
Berdasarkan ayat di atas Ulama’ sepakat bahwa darah yang mengalir hukumnya najis, namun Ulama’ 4 madzhab memerinci hukum darah sebagaimana berikut:
- Maliki :
- Darah yang mengalir hukumnya najis bahkan darah dari ikan. Sedangkan darah yang tidak mengalir hukumnya suci, berdasarkan dalil:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِيْ دَمِ الحَيْضِ يُصِيْبُ الثَّوْبَ : تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ. (متفق عليه).
Nabi SAW bersabda tentang pakaian yang terkena darah haidh: “Kamu gosok, kemudian kamu cuci dengan air, lalu shalatlah dengan pakaian tersebut.” (Muttafaq ‘alaihi).
- Darah yang hanya sedikit hukumnya suci walaupun keluar dari qubul/dubur, karena menghindari kesulitan, berdasarkan dalil:
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ. [البقرة: ١٨٥].
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [QS. Al-Baqarah : 185].
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ. [الحج: ٧٨].
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Hajj : 78].
- Darah otot binatang sembelihan hukumnya suci, berdasarkan dalil:
لقول عائشة -رضي الله عنها: كُنَّا نَطْبُخُ الْبُرْمَةَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْلُوهَا الصُّفْرَةُ مِنَ الدَّمِ فَنَأْكُلُ وَلَا نُنْكِرُهُز (رواه الطبري)
Aisyah RA berkata, “Di masa Rasulullah kami memasak dengan periuk dari batu, kemudian dari periuk naik warna kuning yang berasal dari darah, kamipun makan dan tidak mengingkarinya.” (HR. Thobary)
- Syafi’i :
- Darah yang mengalir hukumnya najis kecuali 4 hal:
- Susu berwarna darah yang keluar dari binatang halal
- Mani yang berwarna darah jika keluar dengan cara normal
- Telur yang berubah menjadi warna darah dengan syarat masih memungkinkan untuk berkembang.
- Darah binatang suci yang sudah menjadi ‘alaqah (embrio) atau mudlghah (segumpal daging).
- Darah ma’fu:
- Darah yang sedikit.
- Darah luka dengan syarat:
- Bukan luka yang disengaja oleh dirinya sendiri,
- Darah tidak menyebar melebihi batas luka.
- Darah binatang kecil yang tidak mengalir, contoh: kutu.
- Hanafi:
- Darah yang mengalir hukumnya najis, darah yang tidak mengalir hukumnya suci.
- Darah yang sudah berubah menjadi embrio hukumnya najis, sedangkan jika sudah menjadi segumpal daging hukumnya suci.
- Hambali:
- Darah yang dihukumi suci antara lain:
- Darah yang tidak mengalir: darah nyamuk, darah lalat, darah otot, dll.
- Darah syahid yang masih menempel pada jasadnya.
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أمَر أن يُدفَنَ الشُّهداءُ في ثيابِهم وفي دِمائِهم ولَمْ يُغَسِّلْهُم إبقاءً لأثرِ الشَّهادةِ عليهم. (رواه البخاري)
“Sesungguhnya Nabi SAW memerintahkan untuk mengubur para syuhada’ dengan pakaian dan darah mereka dan tidak memandikan mereka sebagai saksi bagi mereka.” (HR. Bukhori).
- Darah yang dihukumi najis antara lain:
- Darah yang keluar dari binatang najis.
- Darah yang keluar dari qubul & dubur.
- Darah yang dima’fu diantaranya:
Darah yang hanya sedikit (sebatas kepala jarum) dari manusia atau binatang yang suci.
- Nanah
Hukum nanah sama dengan darah dari segi najis dan ma’fu-nya, karena nanah asalnya adalah darah yang berubah kental dan membusuk.
- Cairan selain darah & nanah yang keluar dari luka.
- Hanafi :
Semua cairan yang keluar dari anggota badan yang sakit hukumnya najis, walaupun cairan itu keluar bukan sebab sakitnya tersebut.
Contoh: air mata yang keluar dari mata yang sedang sakit hukumnya najis. Keringat yang keluar dari kulit yang terluka hukumnya juga najis.
- Syafi’i :
Cairan yang keluar dari luka apabila berubah warna atau baunya maka najis, jika normal maka suci.
- Kencing & tinja
Semua Ulama bersepakat bahwa kencing dan tinja hukumnya najis berdasarkan dalil:
أَنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم قالَ: يُغْسَلُ الثَّوْبُ مِنَ البَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالمَنِيِّ. (رواه البيهقي)
Rosulullah SAW bersabda: “Baju harus dicuci ketika terkena kencing, tinja, dan mani.” (HR. Baihaqi).
- Kotoran binatang yang haram dagingnya
- Jumhurul Ulama’ :
Najis
- Hanafi :
- Binatang darat yang dagingnya haram, kotorannya najis mughaladzah.
- Burung terbang yang dagingnya haram, kotorannya najis mukhoffafah dengan alasan untuk menghindari kesulitan.
- Kotoran binatang yang halal dagingnya
Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum kotoran binatang yang halal dagingnya. Sebagian Ulama’ berpendapat najis berdasarkan dalil:
قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ (رواه البخاري)
Nabi Shallallahu’alaihiwasallam berkata bahwasanya Beliau berjalan melewati dua kuburan yang penghuninya sedang disiksa, lalu Beliau bersabda: “Keduanya sungguh sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa disebabkan karena berbuat dosa besar. Yang satu disiksa karena tidak bersuci dari kencing.” (HR. Bukhori).
Tidak ada keterangan bahwa kencing dalam hadits tersebut hanya kencing manusia saja, sehingga hukum kenajisan kencing berdasarkan hadits tersebut bersifat umum termasuk semua kencing binatang. Sedangkan kotoran binatang juga dihukumi najis karena lebih kotor daripada kencing.
Sedangkan sebagian Ulama’ berpendapat suci berdasarkan dallil:
كَانَ يُحِبُّ أَنْ يُصَلِّيَ حَيْثُ أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ وَيُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ (رواه البخاري)
“Rasulullah senang shalat kapanpun waktu shalat tiba. Dan Rasulullah pernah melaksanakan shalat di kandang kambing.” (HR. Bukhari).
Adapun perbedaan pendapat Ulama’ 4 madzhab sebagaimana berikut:
- Syafi’i :
Semua kotoran binatang hukumnya najis tanpa perincian.
- Hanafi :
- Binatang darat yang dagingnya halal, kotorannya najis mukhoffafah.
- Burung terbang yang dagingnya halal, kotorannya suci.
- Maliki :
- Binatang yang dagingnya halal & makanannya suci, maka kotorannya suci.
- Binatang yang dagingnya halal & makanannya najis, maka kotorannya juga najis.
- Hambali :
- Binatang yang dagingnya halal & sebagian besar makanannya suci, maka kotorannya suci.
- Binatang yang dagingnya halal & sebagian besar makanannya najis, maka kotorannya najis.
- Mani manusia
- Syafi’i & Hambali :
Mani manusia hukumnya suci apabila keluar dengan cara normal, dengan alasan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah maka tidaklah mungkin diciptakan dari perkara yang najis, juga berdasarkan pada dalil:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ المَنِيِّ يُصِيْبُ الثَّوْبَ فَقَالَ: إِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ المُخَاطِ وَالبُصَاقِ. إِنَّمَا يَكْفِيْكَ أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ.(رواه البيهقي)
Rosulullah SAW ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, lalu beliau berkata: “Sesungguhnya mani itu sama dengan ingus dan ludah. Kamu cukup mengusapnya dengan kain lap.” (HR. Baihaqi).
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُصَلِّي فِيهِ (رواه أبو داود)
Aisyah RA berkata, “Saya pernah mengerik mani pada pakaian Rasulullah SAW lalu beliau shalat dengan pakaian tersebut.” (HR. Abu Daud).
- Maliki & Hanafi :
Berpendapat bahwa mani manusia hukumnya najis, berdasarkan dalil:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كُنْتُ أَغْسِلُ الْجَنَابَةَ مِنْ ثَوْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ وَإِنَّ بُقَعَ الْمَاءِ فِي ثَوْبِهِ (رواه البخاري)
Dari Aisyah RA berkata, “Aku mencuci sisa janabat di pakaian Nabi SAW, kemudian beliau keluar untuk shalat sementara kainnya masih nampak basah.” (HR. Bukhori)
أَنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم قالَ: يُغْسَلُ الثَّوْبُ مِنَ البَوْلِ وَالْغَائِطِ وَالمَنِيِّ. (رواه البيهقي)
Rosulullah SAW bersabda: “Baju harus dicuci ketika terkena kencing, tinja, dan mani.” (HR. Baihaqi).
- Wadi & madzi
Wadi adalah: cairan berwarna putih dan kental yang biasanya keluar setelah buang air kecil.
Madzi adalah: cairan bening yang keluar dari qubul ketika sedang bersyahwat.
Jumhurul Ulama’ mengatakan bahwa wadi maupun madzi hukumnya najis, berdasarkan dalil:
كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَجَعَلْتُ أَغْتَسِلُ حَتَّى تَشَقَّقَ ظَهْرِي فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ ذُكِرَ لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَفْعَلْ، إِذَا رَأَيْتَ الْمَذْيَ فَاغْسِلْ ذَكَرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ( رواه أبو داود)
“Saya adalah seorang yang sering mengeluarkan madzi, maka saya bersuci dengan mandi besar sampai punggungku seakan menjadi pecah, kemudian saya menyampaikan hal itu kepada Nabi SAW (atau disampaikan oleh orang lain), maka Rasulullah SAW bersabda: Janganlah kau lakukan! Jika kamu melihat madzi maka cucilah kemaluanmu dan berwudlulah sebagaimana wudlumu untuk shalat”. (HR. Abu Daud).
- Muntah dan gumoh
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا قَاءَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ, أَوْ قَلَسَ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ. (رواه الدار قطني)
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang di antara kalian muntah dalam shalatnya atau gumoh maka hendaklah ia berbalik lalu berwudhu.” (HR. Dar Quthni).
- Hanafi :
- Najis mughaladzah apabila sebanyak satu mulut penuh meskipun tidak dengan sekali keluar, walaupun makanan yang dikeluarkan itu belum berdiam di dalam lambung sekalipun.
- Air liur tidak najis.
- Muntah belatung sedikit atau banyak, kecil atau besar , tidak najis.
- Lendir yang keluar tanpa bercampur apa-apa tidak najis.
- Ludah yang bercampur darah tidak najis apabila jumlah darah lebih sedikit (ludah masih berwarna kuning), tapi najis apabila jumlah darah lebih banyak (ludah sudah berwarna merah).
- Makanan dari binatang memamah biak yang dimuntahkan hukumnya najis.
- Maliki :
- Muntah adalah makanan yang keluar dari lambung setelah berdiam didalamnya, hukumnya najis apabila sudah berubah dari makanan asalnya walaupun perubahan itu hanya bercampur dengan asam lambung.
- Gumoh adalah cairan yang kaluar dari lambung sebab kekenyangan, hukumnya najis apabila keluar menyerupai kotoran (berwarna kuning dan berbau busuk). Tapi jika tidak berubah dan hanya bercampur dengan sedikit asam lambung maka tidak najis.
- Syafi’i :
- Muntah hukumnya najis jika diyakini keluarnya dari lambung walaupun belum berubah dari makanan asalnya.
- Apabila ragu keluar dari lambung atau bukan, maka hukum aslinya suci.
- Air liur najis jika keluar dari perut dengan ciri-ciri berwarna kekuningan dan berbau busuk, namun dima’fu bagi orang yang memiliki kebiasaan tersebut.
- Makanan dari binatang memamah biak yang dimuntahkan hukumnya najis.
- Hambali:
Muntah dan gumoh hukumnya najis tanpa perincian.
- Telur rusak yang keluar dari binatang yang masih hidup
- Jumhurul Ulama’ :
- Najis jika berubah menjadi darah karena akan membentuk binatang.
- Telur yang bercampur putih dan kuningnya karena busuk hukumnya suci sebagaimana daging binatang halal yang busuk.
- Tambahan dari madzhab Maliki :
- Suci jika hanya terdapat titik darah yang tidak mengalir.
- Susu hewan yang haram dagingnya
- Jumhurul Ulama’ :
Najis diqiyaskan dengan dagingnya.
- Hanafi :
Susu semua binatang baik yang dagingnya halal ataupun haram hukumnya suci kecuali susu babi.
- Abu & asap dari benda najis.
- Syafi’I & Hambali :
Abu dan asap dari benda najis yang dibakar hukumnya juga najis sebagaimana benda asalnya.
- Maliki & Hanafi :
Abunya suci karena api telah menghilangkan najisnya dan mengubah menjadi benda lain, sedangkan asapnya najis karena merupakan bagian dari benda najis yang terpisah sebab dibakar.
- Alkohol
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ (المائدة : ٩٠)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.” (QS. Al-Maidah : 90).
- Jumhur :
Najis berdasarkan ayat yang menyatakan bahwa khamar adalah perbuatan keji.
- Syafi’I :
Suci dan boleh digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.
Ayat tersebut menunjukkan keharaman mengkonsumsinya, tidak menunjukan kenajisannya.